Minggu, 01 Maret 2009

Seperti Kita Ini Bukan Indonesia...

SOSOK DAN PEMIKIRAN Bambang Shergi Laksmono

Diunduh dari Harian KOMPAS, Sabtu, 26 April 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/04/26/00524118/seperti.kita.ini.bukan.indonesia...

Oleh Imam Prihadiyoko

Mei ini, Indonesia memperingati seabad kebangkitannya. Sebuah pelajaran sejarah yang mengingatkan kepada anak bangsa agar saling peduli dengan sesama anak bangsa. Apalagi, problem kebangsaan, kesejahteraan yang dihadapi masyarakat saat ini, memang menakutkan.

Ada rakyat yang tidak diurus negara, bahkan meninggal karena kelaparan, saat saudara sebangsanya yang lain sedang berpesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada ketidakpedulian yang meluas di antara masyarakat pascakeruntuhan rezim Orde Baru. Lebih menakutkan lagi, ketika negara seperti tidak berbuat apa pun untuk mengatasi problem kerakyatan saat ini.

Cerita lama rakyat antre minyak semasa era Orde Lama sekarang terjadi lagi. Bahkan, saat sebagian rakyat kesulitan menghadapi harga beras yang naik, dan bangsa ini mulai surplus beras, malah ada ide untuk mengekspornya.

”Sepertinya, keindonesiaan kita ini bukan Indonesia,” ujar guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bambang Shergi Laksmono di Kampus UI Depok, Senin (21/4).

Bambang, sosiolog yang masa kecilnya di berbagai negara, menuturkan, menyejahterakan rakyat adalah bagian dari cita-cita kehidupan bernegara yang diamanatkan konstitusi. Tetapi, bentuk kesejahteraan seperti apa yang dilakukan negara, tampaknya tidak kunjung terwujud. Tak heran kalau di antara rakyat mulai muncul apatisme dan keraguan tentang untuk apa bernegara jika fakir miskin dan anak telantar yang seharusnya dipelihara negara dibiarkan hidup tanpa bantuan negara.

Apa mungkin karena banyak orang Indonesia yang tidak mengenal lagi keindonesiaan sehingga tidak muncul kepedulian sosial terhadap sesama warga bangsa? Berikut perbincangan itu:

Apa ingatan masa kecil Anda tentang kebangsaan Indonesia?

Sewaktu kecil, rasanya saya bangga sekali dengan Indonesia. Saya tidak pernah merasa minder mengaku berasal dari Indonesia. Tak heran kalau saya merasa sama dan sejajar dengan bangsa lain. Sewaktu kecil, saya tinggal di beberapa negara karena mengikuti tugas orangtua.

Saya juga sedih, kok kita dengan Malaysia saja rasanya sudah tidak dihargai lagi. Padahal, dulu orang Malaysia sangat menghormati orang Indonesia. Bahkan, banyak guru dari Indonesia yang ikut mendidik warga Malaysia. Sekarang tampaknya kita yang harus belajar dari berbagai kemajuan yang diraih Malaysia.

Bambang adalah sosok yang tak banyak berbicara. Kalau berbicara, gayanya tenang, hampir tak ada ledakan emosi yang terlontar. Sempat gundah dengan kondisi rakyat Indonesia yang saat ini seperti tak punya pegangan, ia juga sedih melihat di negara tetangga pun tidak sedikit warga negara Indonesia yang dihina dan dikejar-kejar, seperti penjahat.

Bambang juga gundah dengan lulusan perguruan tinggi yang menurut dia juga lemah tentang pengetahuan kewilayahan Indonesia.

Lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak mengenal lagi wilayah Indonesia, apalagi tentang keindonesiaan. Bisa dibayangkan bagaimana menyedihkannya masyarakat kita kalau kaum cendekiawannya saja tak mengenal wilayah Indonesia. Bagaimana mungkin mereka bangga dengan Indonesia? Mungkin karena mahasiswa hanya dibekali pemahaman konseptual yang sering kali tidak menjejakkan kakinya di bumi. Mereka lebih ngawang-awang dan sering kali tidak melihat kenyataan. Ini mungkin disebabkan perspektif ilmu yang dikembangkan kita selama ini tidak cukup menuntun mahasiswa kita untuk mengenal kondisi Indonesia yang sangat luas.

Komposisi mahasiswa dan sarjana juga tak mencerminkan perwakilan daerah dan budaya yang memungkinkan saling mengenal daerah di negeri ini. Kita tidak seperti orang Singapura yang konsisten mengembangkan pengetahuan regional ASEAN- Asia dan lintas lingkaran yang menjangkau kawasan dunia, di mana negaranya menjadi sentral kekuatan keuangan dunia. Saya kira mestinya, dimensi kewilayahan, khususnya yang strategik, harus masuk dalam perhatian seluruh anak bangsa.

Daerah perbatasan, daerah pertambangan utama, daerah isolasi, dan daerah pusat pertumbuhan harusnya lebih sering dibicarakan secara holistik dan menjadi salah satu kompetensi lulusan pendidikan di Indonesia, apalagi jika dari FISIP. Syukur wawasan kewilayahan ini minimal bisa mencakup wawasan geopolitik Indonesia, Malaysia, Singapura, ASEAN, dan seterusnya Asia-Australia.

Pada tahun 1992, Bambang sudah menjadi Ketua Jurusan (sekarang disebut Departemen) Ilmu Kesejahteraan Sosial. Ia juga merintis pengembangan jurusan kesejahteraan dengan mendirikan program Pascasarjana Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial yang pertama di Indonesia.

Terkait dengan kondisi bangsa, apa yang diharapkan rakyat?

Rakyat saat ini sebenarnya berharap proses demokratisasi berjalan dengan cepat. Bukan demokrasinya yang dinantikan, tetapi hasil dari pelaksanaan demokrasi itu, yaitu meningkatnya kesejahteraan rakyat. Sayangnya, proses demokrasi yang melewati masa pemilihan presiden langsung pun tidak menawarkan solusi yang diharapkan. Rakyat yang sudah disodori pilkada pun belum merasakan keuntungan dari proses demokrasi itu. Proses demokrasi baru dinikmati elite. Tidak heran kalau rakyat saat ini banyak yang menanti dengan tidak sabar atas hasil demokrasi yang dilaksanakan sekarang.

Rakyat saat ini cenderung tak peduli dengan proses demokrasi yang ada. Ini secara langsung bisa dilihat dari jumlah rakyat yang apatis pada pilkada terus bertambah. Ini semua karena rakyat tidak merasakan buah demokrasi, yaitu kesejahteraan. Banyak rakyat yang merasakan hidupnya seperti tikus yang mati di lumbung padi.

Mengapa demokrasi kita belum menyejahterakan rakyat?

Dalam sistem demokrasi yang dibangun dengan dasar kepartaian saat ini, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, partai harus bisa menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai agenda berbangsa dan bernegara. Jika partai tidak peduli, bukan saja kehidupan rakyat kian terpuruk, tetapi kelangsungan kehidupan bangsa ini juga akan terancam.

Secara ideal, konsolidasi demokrasi harus berjalan seiring dengan konsolidasi ekonomi sehingga kesejahteraan terwujud.

Indonesia Menghadapi Pertarungan Politik dan Kultural

Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 11 November 2008
http://kompas.co.id/read/xml/2008/11/11/17572488/indonesia.menghadapi.pertarungan.politik.dan.kultural..


JAKARTA, SELASA - Ancaman yang dihadapi (masyarakat) Indonesia saat ini bukanlah teologi yang buruk , tetapi pertarungan politik dan kultural. Kita sedang berebut ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan merumuskan keindonesiaan. Bangsa Indonesia adalah entitas yang sepenuhnya duniawi. Bangsa Indonesia adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada, tapi harus dibangun.

Pandangan yang demikian mengemuka dari Koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Jakarta, I Gusti Agung Ayu Ratih, ketika menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk Kita, Sejarah dan Kebhikenaan: Merumuskan Kembali K eindonesiaan, Senin (10/11) malam di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pidato Kebudayaan digelar Dewan Kesenian Jakarta memperingati hari jadi Taman Ismail Marzuki yang ke-40.

Dalam arena pertarungan ini, perlu dibangun gerakan kebudayaan yang memungkinkan tumbuhnya imajinasi tentang dunia baru yang didambakan, dengan cita-cita politik yang jelas. "Kita tidak bisa bertahan dengan posisi-posisi anti a atau b sebagai reaksi terhadap provokasi pihak sana. Kita tidak boleh membiarkan gerak kita ditentukan oleh manuver-manuver yang mereka rancang untuk mengacak-acak kesatuan dan keteraturan derap kita. Kita harus tegaskan posisi kita terhadap hal-hal fundamental yang menjadi landasan dan kerangka tegaknya republik ini," kata I Gusti Agung Ayu Ratih.

Dari perjalanan, penelitian dan praksis yang dilakukan Ayu Ratih selama hampir 20, dia menjelaskan, bahwa Indonesia adalah sebuah cita-cita, hasil imajinasi liar perorangan yang diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan politik kolektif. Keindonesiaan bukanlah sesuatu yang terberi, tetapi rangkuman niat, harapan, dan kesepakatan yang dari masa ke masa berubah oleh perdebatan, pertentangan ideologi, dan pengabdian aspirasi-aspirasi tertentu.

Harus pula kita ingat, di masa-masa paling kelam arena perumusan keindonesiaan dikuasai kekuatan fasistik yang melancarkan pemusnahan kelompok, golongan, dan suku bangsa tertentu. Dari pergaulan dengan para korban kekerasan masa lalu inilah saya percaya bahwa pengembangan gagasan Indonesia baru tak bisa dilepaskan dari upaya penyusunan sejarah baru, tandasnya.

Ayu Ratih berpendapat, bangsa Indonesia adalah entitas yang sepenuhnya duniawi. Pada saat proklamasi kemerdekaan rakyat kepulauan ini tidak dipersatukan oleh agama, suku bangsa, atau bahasa apu pun. Mereka dipersatukan oleh pengalaman sejarah penindasan politik dan eksploitasi ekonomi. Mereka berbagi komitmen untuk menciptakan masyarakat baru yang lebih demokratis, egalitarian, dan sejahtera.

Demokrasi tidak hanya dicapai di bidang politik, melalui pemilu, tetapi juga di bidang ekonomi. Baik Soekarno dan Hatta, misalnya, memperjuangkan demokrasi ekonomi dan sosialisme. Pancasila sepenuhnya merupakan pakta buatan manusia yang memberikan prinsip-prinsip acuan hidup bersama sebagai suatu bangsa.

Bangsa Indonesia, lanjut Ayu Ratih, adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada tapi harus dibangun, misalnya melalui kampanye pemberantasan buta huruf atau penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia. Inilah beberapa hal fundamental dalam nasionalisme Indonesia.



Kerja demokrasi

Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jaka rta Marco Kusumawijaya dalam hantarannya mengatakan, kerja demokrasi dewasa ini belum mencerminkan kecerdasan, kebijakan, dan kekayaan kolektif bangsa Indonesia seluruhnya, yang terdiri dari berbagai-bagai orang per orang, komunitas dan budaya.

Sesudah reformasi, sesudah demokrasi, kita memperjuangkan kembali kebebasan masyarakat dari kekuasaan yang berlebihan, yang tidak mendengar, dan tidak mampu atau tidak mau mengelola kebhinekaan yang justru merupakan dasar dari konsensus eksistensial negara-bangsa Indonesia, katanya.

Menurut Marco, kekuasaan cenderung mereduksi dan menyederhanakan segala hal karena mempermudah dirinya sendiri. Salah satu sebab penting dari hal itu adalah kehilangan kepekaan dan pengetahuan akan kebhinekaan itu sendiri.

Karena itu, lanjut Marco, pihaknya menganggap perlu kembali meneguhkan pengetahuan, kepekaan dan konsensus kita tentang kebhinekaan itu. Kita perlu menelusuri lagi ke akar-akarnya, ke budaya-budaya yang membentuk Indonesia. K ita ingin merenungi kebhinekaan pada tataran praktik-praktik kebudayaan kita, yang seharusnya menjadi sumber kearifan dalam mengelola kehidupan bersama pada tataran lain, baik ekonomi maupun politik. Kita juga ingin memahami nya dalam perspektif sejarah, karena kebhinekaan kita mengandung dan terkandung dalam sejarah kebangsaan kita.

Keindonesiaan Baru Perlu Cara Pandang Baru

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 21 April 2008
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/21/12124848/keindonesiaan.baru.perlu.cara.pandang.baru

Laporan wartawan Kompas Imam Prihadiyoko

JAKARTA, SENIN- Ke-Indonesiaan kini membutuhkan cara pandang baru. Sebuah nasionalisme baru yang berpijak pada kenyataan saat ini. "Banyak hal yang harus kita lihat dengan cara pandang baru tentang keindonesiaan saat ini. Dulu kita sentralisasi, dan korupsi merajalela. Sekarang sudah desentralisasi, kok korupsi makin dahsyat," kata Ketua MPR Hidayat Nurwahid dalam diskusi publik bulanan Ikatan Dokter Indonesia menyongsong seabad kebangkitan nasional dan seabad kiprah dokter Indonesia di Jakarta, Senin (21/4).

Hidayat menyebut, korupsi di kehutanan, misalnya, justru berlangsung mengerikan ketika desentralisasi diterapkan. "Inilah yang mengganggu kita semua saat ini," katanya menambahkan.

Menurut Hidayat, Indonesia beruntung tidak seperti Uni Soviet atau Yugoslavia yang terpecah belah. Meski demikian, ia memperingatkan bahwa Indonesia bisa hancur dalam disorientasi yang tidak terselesaikan, jika tidak ada kesadaran ke-Indonesiaan.

"Nasionalisme itu juga harus nyambung dengan kehidupan, kedaulatan rakyat yang sering dimaknai dengan euforia," ujarnya.

PK Ojong dan Asimilasi Keturunan Tionghoa

Oleh Haris Firdaus

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 3 Maret 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/03/11484322/pk.ojong.dan.asimilasi.keturunan.tionghoa

Tanggal 24 Maret 1960, PK Ojong, Ong Hok Ham, dan delapan cendekiawan etnis Tionghoa lain di Indonesia menandatangani Piagam Asimilasi. Dalam piagam itu disebutkan bahwa kesepuluh penanda tangan piagam bertekad menjadi "orang Indonesia yang murni dan patriotik" sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, Oktober 1928.

Bagi PK Ojong dan para penanda tangan Piagam Asimilasi lainnya, proses asimilasi keturunan Tionghoa harus diartikan sebagai proses peleburan mereka ke dalam penduduk Indonesia sehingga tidak ada lagi istilah "minoritas Tionghoa". Ketika sebuah peleburan telah terjadi, sebutan "minoritas" dan "mayoritas" memang tidak lagi relevan sebab saat itu yang ada hanyalah "kesatuan sebuah bangsa".

Kalau kita menganggap bangsa sebagai sebuah "komunitas terbayang"-seperti dikatakan Bennedict Anderson (2001:8)-maka ikhtiar Ojong untuk mendukung asimilasi sebenarnya mengandung seruan agar warga Tionghoa di Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari "bangsa Indonesia". Meskipun secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tetapi perbedaan tersebut mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai satu bangsa. Di sisi lain Ojong juga berharap agar masyarakat pribumi menerima kehadiran warga Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka.

Seruan Ojong agar asimilasi dilakukan sebenarnya sangat relevan, sebab bila kita melihat sejarah, pembentukan bangsa Indonesia memang tidak berdasar pada kesamaan fisik atau budaya melainkan lebih pada "imajinasi" akan adanya ikatan yang menghubungkan penduduk dari budaya yang berbeda. Maka, perbedaan yang ada dalam hal fisik dan kebudayaan pada hakikatnya bukanlah penghalang terintegrasinya sebuah etnis dengan etnis lainnya. Kesenjangan

Kesenjangan antara masyarakat Tionghoa dengan warga pribumi Indonesia sebenarnya berawal dari segregasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia memberlakukan pembagian kelas sosial dalam masyarakat dengan menempatkan warga Belanda dan Eropa pada kelas paling atas, warga asing lain seperti Tionghoa dan Arab di lapisan menengah, dan warga bumiputra di level paling bawah (Chrsitanty; 1994: 21-22). Stratifikasi yang berdasar pada tujuan politis inilah yang kemudian membuat sebuah kesenjangan muncul antara warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Ketika Indonesia merdeka, warisan sejarah yang demikian masih dikenang dan karenanya identifikasi warga keturunan Tionghoa sebagai "yang lain" tetap saja muncul. Pada tahun 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, konflik antara warga Tionghoa dan pribumi terjadi di Tangerang dan Kebumen. Saat itu konflik menjadi sangat serius dan bahkan menimbulkan korban. Konflik itu meletus karena masyarakat pribumi menganggap warga Tionghoa bersikap netral terhadap kolonialisme Belanda dan perjuangan nasionalisme Indonesia. Kenetralan itu pula yang membuat Pemerintah Indonesia waktu itu menyerukan agar warga Tionghoa menunjukkan sikap mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Konflik dan kesenjangan antara warga Tionghoa dengan masyarakat asli Indonesia itulah yang kemudian mendorong Ojong menggagas asimilasi sesuai pemikiran dia. Berbeda dengan beberapa tokoh asimilasi lain saat itu, Ojong-dan juga Ong Hok Ham-berpendapat bahwa hambatan terbesar dari proses asimilasi justru terletak pada lemahnya orientasi keindonesiaan dari warga Tionghoa sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, warga keturunan Tionghoa harus memperkuat orientasi keindonesiaannya agar bisa mencapai asimilasi yang meliputi aspek biologis, ekonomis, politis, sosial, dan kultural.

Pergaulan Ojong yang luas dengan banyak tokoh nasional Indonesia- seperti Mohammad Hatta, Soedjatmoko, Bahrum Rangkuti, dan lain-lain- membuatnya menyadari bahwa keindonesiaan adalah hal mutlak yang mesti dimiliki warga Tionghoa bila ingin melakukan asimilasi. Pengalaman konflik tahun 1946 menunjukkan bahwa sikap setengah- setengah terhadap keindonesiaan bisa dicurigai sebagai sikap yang memihak musuh.

Dalam hal asimilasi inilah, Ojong agak berbeda dengan guru dan idolanya, Khoe Wan Shoe, pendiri dan pengelola surat kabar Keng Po dan mingguan Star Weekly. (Parera; 1985:80). Kalau Khoe Wan Shoe adalah cendekiawan Tionghoa yang kadang masih melihat warga Indonesia asli sebagai "ancaman"-terutama dalam masalah ekonomi atau mata pencaharian-Ojong sudah sepenuhnya percaya bahwa warga pribumi adalah teman sekaligus saudara yang tak perlu ditakuti.

Meskipun saat kecil Ojong bersekolah di Holandsch-Chineesche School yang merupakan sekolah khusus anak Tionghoa, ia tidak tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran sempit. Bahkan ketika kemudian dia menyadari pentingnya asimilasi, Ojong mengritik sistem persekolahan masa kecilnya itu karena sistem seperti itu hanya akan menghalangi interaksi antara etnis Tionghoa dan warga pribumi dan memperkecil peluang terciptanya asimilasi.

Segregasi

Ojong yang meninggal pada 31 Mei 1980 merupakan salah satu tokoh Tionghoa yang tidak hanya menyebarluaskan gagasan tentang asimilasi, tetapi sekaligus langsung mempraktikkan gagasan tersebut tatkala mengelola beberapa perusahaan media massa.

Sebagai wartawan, Ojong juga menyadari bahwa ia harus mendorong integrasi sosial dan menolak konsep segregasi nasional seperti yang dipraktikkan pemerintah kolonial. (Sularto; 2007:7). Oleh karena itu, selain usaha kultural dari masyarakat, menurut Ojong, pemerintah juga harus langsung turun tangan secara struktural dalam mendorong terjadinya proses asimilasi. Haris Firdaus Pegiat Kabut Institut (Pusat Studi Sastra, Agama, Filsafat, dan Kebudayaan) Solo, Jawa Tengah

PK Ojong dan Asimilasi Keturunan Tionghoa

Oleh Haris Firdaus

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 3 Maret 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/03/11484322/pk.ojong.dan.asimilasi.keturunan.tionghoa


Pada 24 Maret 1960, PK Ojong, Ong Hok Ham, dan delapan cendekiawan etnis Tionghoa lain di Indonesia menandatangani Piagam Asimilasi. Dalam piagam itu disebutkan bahwa kesepuluh penanda tangan piagam bertekad menjadi "orang Indonesia yang murni dan patriotik" sesuai dengan semangat Sumpah Pemuda, Oktober 1928.

Bagi PK Ojong dan para penanda tangan Piagam Asimilasi lainnya, proses asimilasi keturunan Tionghoa harus diartikan sebagai proses peleburan mereka ke dalam penduduk Indonesia sehingga tidak ada lagi istilah "minoritas Tionghoa". Ketika sebuah peleburan telah terjadi, sebutan "minoritas" dan "mayoritas" memang tidak lagi relevan sebab saat itu yang ada hanyalah "kesatuan sebuah bangsa".

Kalau kita menganggap bangsa sebagai sebuah "komunitas terbayang"-seperti dikatakan Bennedict Anderson (2001:8)-maka ikhtiar Ojong untuk mendukung asimilasi sebenarnya mengandung seruan agar warga Tionghoa di Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari "bangsa Indonesia". Meskipun secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tetapi perbedaan tersebut mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai satu bangsa. Di sisi lain Ojong juga berharap agar masyarakat pribumi menerima kehadiran warga Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka.

Seruan Ojong agar asimilasi dilakukan sebenarnya sangat relevan, sebab bila kita melihat sejarah, pembentukan bangsa Indonesia memang tidak berdasar pada kesamaan fisik atau budaya melainkan lebih pada "imajinasi" akan adanya ikatan yang menghubungkan penduduk dari budaya yang berbeda. Maka, perbedaan yang ada dalam hal fisik dan kebudayaan pada hakikatnya bukanlah penghalang terintegrasinya sebuah etnis dengan etnis lainnya. Kesenjangan

Kesenjangan antara masyarakat Tionghoa dengan warga pribumi Indonesia sebenarnya berawal dari segregasi yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia memberlakukan pembagian kelas sosial dalam masyarakat dengan menempatkan warga Belanda dan Eropa pada kelas paling atas, warga asing lain seperti Tionghoa dan Arab di lapisan menengah, dan warga bumiputra di level paling bawah (Chrsitanty; 1994: 21-22). Stratifikasi yang berdasar pada tujuan politis inilah yang kemudian membuat sebuah kesenjangan muncul antara warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Ketika Indonesia merdeka, warisan sejarah yang demikian masih dikenang dan karenanya identifikasi warga keturunan Tionghoa sebagai "yang lain" tetap saja muncul. Pada tahun 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, konflik antara warga Tionghoa dan pribumi terjadi di Tangerang dan Kebumen. Saat itu konflik menjadi sangat serius dan bahkan menimbulkan korban. Konflik itu meletus karena masyarakat pribumi menganggap warga Tionghoa bersikap netral terhadap kolonialisme Belanda dan perjuangan nasionalisme Indonesia. Kenetralan itu pula yang membuat Pemerintah Indonesia waktu itu menyerukan agar warga Tionghoa menunjukkan sikap mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Konflik dan kesenjangan antara warga Tionghoa dengan masyarakat asli Indonesia itulah yang kemudian mendorong Ojong menggagas asimilasi sesuai pemikiran dia. Berbeda dengan beberapa tokoh asimilasi lain saat itu, Ojong-dan juga Ong Hok Ham-berpendapat bahwa hambatan terbesar dari proses asimilasi justru terletak pada lemahnya orientasi keindonesiaan dari warga Tionghoa sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, warga keturunan Tionghoa harus memperkuat orientasi keindonesiaannya agar bisa mencapai asimilasi yang meliputi aspek biologis, ekonomis, politis, sosial, dan kultural.

Pergaulan Ojong yang luas dengan banyak tokoh nasional Indonesia- seperti Mohammad Hatta, Soedjatmoko, Bahrum Rangkuti, dan lain-lain- membuatnya menyadari bahwa keindonesiaan adalah hal mutlak yang mesti dimiliki warga Tionghoa bila ingin melakukan asimilasi. Pengalaman konflik tahun 1946 menunjukkan bahwa sikap setengah- setengah terhadap keindonesiaan bisa dicurigai sebagai sikap yang memihak musuh.

Dalam hal asimilasi inilah, Ojong agak berbeda dengan guru dan idolanya, Khoe Wan Shoe, pendiri dan pengelola surat kabar Keng Po dan mingguan Star Weekly. (Parera; 1985:80). Kalau Khoe Wan Shoe adalah cendekiawan Tionghoa yang kadang masih melihat warga Indonesia asli sebagai "ancaman"-terutama dalam masalah ekonomi atau mata pencaharian-Ojong sudah sepenuhnya percaya bahwa warga pribumi adalah teman sekaligus saudara yang tak perlu ditakuti.

Meskipun saat kecil Ojong bersekolah di Holandsch-Chineesche School yang merupakan sekolah khusus anak Tionghoa, ia tidak tumbuh menjadi pribadi yang berpikiran sempit. Bahkan ketika kemudian dia menyadari pentingnya asimilasi, Ojong mengritik sistem persekolahan masa kecilnya itu karena sistem seperti itu hanya akan menghalangi interaksi antara etnis Tionghoa dan warga pribumi dan memperkecil peluang terciptanya asimilasi.

Segregasi

Ojong yang meninggal pada 31 Mei 1980 merupakan salah satu tokoh Tionghoa yang tidak hanya menyebarluaskan gagasan tentang asimilasi, tetapi sekaligus langsung mempraktikkan gagasan tersebut tatkala mengelola beberapa perusahaan media massa.

Sebagai wartawan, Ojong juga menyadari bahwa ia harus mendorong integrasi sosial dan menolak konsep segregasi nasional seperti yang dipraktikkan pemerintah kolonial. (Sularto; 2007:7). Oleh karena itu, selain usaha kultural dari masyarakat, menurut Ojong, pemerintah juga harus langsung turun tangan secara struktural dalam mendorong terjadinya proses asimilasi. Haris Firdaus Pegiat Kabut Institut (Pusat Studi Sastra, Agama, Filsafat, dan Kebudayaan) Solo, Jawa Tengah

Keindonesiaan Kamala Chandrakirana

Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy

Diunduh dari Harian KOMPAS, Minggu, 18 Mei 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/18/01080252/keindonesiaan.kamala.chandrakirana


Pemahaman Kamala Chandrakirana (47) tentang keberagaman lahir dari pengalaman paling otentik sebagai individu, manusia Indonesia. Pengalaman itu tidak eksklusif, karena secara genetik bangsa ini memang lahir dari keberagaman dan dalam keberagaman.

Namun, jati diri manusia Indonesia tengah dipertaruhkan dalam permainan politik kekuasaan kelompok elite. Mereka memasarkan ide-ide tentang absolutisme, suatu gagasan yang menggunakan kerangka moralitas dan agama sebagai jalan keluar menjawab berbagai persoalan sosial.

Padahal gagasan absolutisme itu ilusi. Tetapi, ilusi itu menjadi laku ”dijual” karena masyarakat Indonesia berada di tengah ketidakpastian akibat keterpurukan ekonomi, kelelahan karena maraknya kekerasan dan disorientasi karena perubahan terjadi sangat tidak terduga.

”Absolutisme menawarkan jalan keluar instan, sederhana, tak menuntut orang berpikir, pokoknya hitam-putih, absolut,” ujar Kamala.

Kepastian jawaban atas segala persoalan lalu menjadi kepastian semu. Kamala menegaskan, ”Mengandaikan absolutisme adalah tidak mungkin. Bukan hanya karena tak ada jawaban tunggal atas suatu persoalan, tetapi juga tidak bisa karena karakter keberagaman dari archipelago kita secara geografis, sosial, ekonomi, budaya, maupun ekologis.”

Keberagaman tak hanya ada di dalam konsep, tetapi menyatu dalam darah manusia Indonesia dan sebagai pengalaman riel. ”Dalam keluarga saya ada beragam agama, beragam etnis,” ujar dia.

Keberagaman itu menjadi landasan kebersamaan yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar. ”Konstitusi itu merupakan kontrak sosial bangsa Indonesia,” tegas Kamala.

Barangkali, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)— yang ia pimpin sejak pertengahan tahun 2004—adalah satu dari sedikit lembaga resmi yang berani bersuara lantang tentang persoalan itu.

Kamala ditemui suatu siang di tengah kesibukannya mempersiapkan acara peluncuran Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan, Prof Saparinah Sadli, pada Kamis (15/5), tentang Kekerasan Seksual Mei 1998. Laporan itu diserahkan kepada Pemerintah melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono.

Menelikung demokrasi

Menurut Kamala, perempuan adalah korban terdepan berbagai kebijakan yang bernuansa absolutisme. Saat ini terdapat 27 produk kebijakan di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif karena melakukan pembatasan, pengendalian, dan kriminalisasi terhadap perempuan.

Ke-27 produk kebijakan ini merupakan bagian dari kecenderungan yang lebih besar lagi, yaitu 88 kebijakan lokal yang menggunakan agama dan moralitas sebagai landasan perumusan kebijakan dan menempatkan negara sebagai polisi moral dalam kehidupan warganya.

Pada tahun 2006, Mahkamah Agung menolak uji material yang didesakkan organisasi masyarakat sipil terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Tangerang karena menganggap proses pembuatan perda sudah memenuhi persyaratan prosedural. Kejadian itu menengarai demokrasi tanpa substansi. Prosedur demokrasi digunakan untuk menggolkan gagasan tentang absolutisme.

Di aras nasional ada Rancangan Undang-Undang Pornografi yang substansinya dapat berdampak pada kriminalisasi terhadap sensualitas dan tubuh perempuan.

Proyek ini, menurut Kamala, tidak terlepas dari proyek-proyek lain, termasuk soal Ahmadiyah. Juga ada lembaga-lembaga yang mempunyai kekuatan begitu besar sehingga mendorong Pemerintahan Nasional melanggar Konstitusi Indonesia, khususnya terkait dengan hak atas kebebasan beragama.

”Musuh semu”

Penyangkalan terhadap hak- hak warga negara dilakukan dengan menciptakan ”musuh bersama semu”, yakni perempuan dan kelompok minoritas lain atas dasar agama, orientasi seksual dan lain-lain, dengan melakukan politisasi identitas dan kebencian.

Di lain pihak, Pemerintah dan para elite politik tak mampu menyelesaikan persoalan riel yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan dan pemiskinan akibat perampasan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi oleh berbagai kebijakan yang lahir dari salah kelola negara, ketidakadilan, dan diskriminasi.

Bagaimana gerakan perempuan menyikapi semua ini?

Situasi-situasi tak terduga ini menuntut positioning baru gerakan perempuan dan strategi yang lebih canggih. Gerakan perempuan dituntut tak hanya mempersoalkan kewargaan seorang perempuan, tetapi harus memainkan peran kepemimpinan dalam merumuskan kembali makna kebangsaan kita dan menawarkan satu visi tentang keberwargaan bangsa Indonesia.

Saya optimis, perempuan bisa memainkan peran itu dengan cara beragam. Corak kepemimpinan abad ini berbeda dari abad ke-20 bentukan Perang Dingin dan ideologi-ideologi lama. Ini era multipolar, penuh keberagaman. Sekarang adalah era dari beragam pusat-pusat kecil yang keluar dengan eksperimentasinya sendiri, tetapi berjejaring karena sistem informasi abad ke-21 memungkinkan itu.

Itu perjuangan besar….

Iya. Agama yang digunakan sebagai alat kepentingan politik telah menjerat kita, karena kita dituntut harus membahas semua persoalan dalam kerangka agama. Jalan keluar lain diangap tidak sah.

Kita harus keluar dari kerangka agama dan masuk ke dalam kerangka keindonesiaan kita. Kita harus dapat menghidupkan kembali imaji kita tentang siapa ”Indonesia”. Selain kekelaman, kita juga punya sejarah yang penuh impian. Kita harus ingat lagi impian-impian kita dulu dan aspirasi kita ke depan untuk anak-cucu kita. Ruang untuk membahas itu semua harus ada, karena ke-Indonesia-an kita.

Kalau kita punya ruang untuk bicara tentang Indonesia, maka kita punya tempat untuk Ahmadiyah, di luar perdebatan tentang agama, karena pengikut Ahmadiyah adalah warga negara Indonesia. Kalau negara ikut-ikutan mengadopsi cara di luar kerangka keindonesiaan, artinya negara melanggar kontrak sosial yang telah kita buat sebagai bangsa. Dan kalau surat keputusan bersama antara Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama jadi dikeluarkan, itu catatan sejarah yang luar biasa karena di situ Pemerintah melanggar Konstitusi.

Sejak Orde Baru

Menurut Kamala, situasi ini sebenarnya merupakan suatu proses, seiring dengan melemahnya institusi-institusi sosial-kultural sejak zaman Orde Baru.

”Semua itu membuat generasi kita nyaris amnesia terhadap budaya kita sendiri,” tutur Kamala, ”Kita seperti tidak ingat bahwa nenek kita yang saleh beragama tidak berpakaian seperti perempuan dari kultur bangsa lain. Tetapi, mengapa sekarang kita seakan-akan melupakan dia sebagai bagian dari diri kita dan kemudian mengadopsi satu simbol kultural dari masyarakat lain di luar sana? Itu kan artinya kita kehilangan akar dari budaya kita.”

Kamala melanjutkan, ”Selama 30 tahun institusi-institusi sosial- kultural yang kita miliki diliyankan oleh Orde Baru, lalu dikendalikan dan dijadikan sebagai milik negara untuk kepentingan penguasa. Institusi itu telah menjadi asing bagi kita. Ekspresi kultural kita dijadikan etalase. Kita menjadi seperti manusia lepas, tak punya pijakan kultural. Semua ini membuat kita terlalu mudah menerima kultur tandingan yang diasosiasikan dengan kesalehan.”

Bukankah perempuan juga dijadikan alat pihak yang memasarkan gagasan absolutisme?

Karena itu kita harus memaknai apa yang disebut pendidikan politik. Pendidikan politik perempuan bukan hanya soal 30 persen di legislatif, juga bukan hanya mengajari tentang sistem pemerintahan, kepartaian, pemilu, tetapi harus menjadi sarana agar perempuan paham bahwa tubuh dan jati dirinya sering dijadikan alat perebutan kekuasaan oleh elite politik yang tak punya komitmen genuine terhadap kondisi ketidakadilan.

Kita, perempuan, jangan mudah diiming-imingi janji-janji yang pakai landasan agama dan moralitas untuk menjawab persoalan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Perempuan harus bisa membedakan, kandidat mana yang genuine, mana yang tidak. Pendidikan politik terpenting adalah membuat perempuan paham bahwa politisasi identitas perempuan itu bencana yang sangat besar dan bumerang bagi kepentingan perempuan.

Salah satu elemen pendidikan politik kita adalah mempelajari sejarah gerakan perempuan. Sejarah memperlihatkan, ketika masuk ke dalam institusi-institusi politik yang ada, kita hanya menjadi alat orang lain. Tak ada ruang di mana kita secara otonom bisa memperjuangkan nasib kita, dan kita tak bisa masuk ke suatu bagian yang merumuskan bagian besar institusi politik itu ke depan. Kita belajar dari sejarah kita. Itu pekerjaan rumah untuk 2009. Jadi bukan sekadar mencari calon yang masuk partai. Itu rentan terhadap ambisi kekuasaan.

***

Kehidupan Menjadi Diri Sendiri

Kamala Chandrakirana tak bisa dipisahkan dari kelahiran Komnas Perempuan. Ia adalah satu dari 22 perempuan yang bergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan salah satu anak generasi Dr Saparinah Sadli dan Kuraisin Sumhadi (alm), Soewarni Salyo, dan Mely G Tan, yang ikut meyakinkan Presiden BJ Habibie tentang terjadinya pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998.

”Ke-22 orang itu mewakili seluruh spektrum politik organisasi perempuan. Dari organisasi mainstream seperti Dharma Wanita dan Kowani yang menjadi ujung tombak Orde Baru, sampai organisasi nonpemerintah feminis, bagian dari gerakan demokrasi yang anti-Soeharto. Inilah yang menurut saya menjadi salah satu landasan kuat dari benih kredibilitas yang nantinya dikelola Komnas Perempuan,” kenang Kamala.

Komnas Perempuan yang berdiri pada tanggal 15 oktober 1998 melalui Keputusan Presiden No 181/1998—kemudian dikuatkan melalui Keputusan Presiden No 65/2005—adalah komisi independen yang lahir dari tuntutan sejarah kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan.

”Independen artinya tidak mewakili kepentingan pemerintah, juga bukan koalisi NGO. Lembaga ini berpegang pada landasan dan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia berperspektif gender,” ujar Kamala.

Status independen itu tidak diberikan, melainkan direbut dalam tarik-menarik politik Kabinet Reformasi pimpinan BJ Habibie.

Jalan hidup

Peristiwa itu adalah bagian perjalanan panjang Kamala sebagai aktivis, jalan hidup yang dipilihnya. Ia dilahirkan di dalam tradisi intelektual. Ayahnya, Dr Soedjatmoko, pemikir dan intelektual besar Indonesia, selalu mengundang teman-temannya datang ke rumah untuk berdiskusi dan Kamala kecil merekamnya.

Namun, pergulatan pemikiran Kamala yang intensif tak hanya lahir dari situ. Ia sendiri mengalami proses pencarian yang sifatnya otentik dan personal, melalui perjumpaan-perjumpaan; dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun dengan buku-buku.

”Kita merekam ingatan tentang perjalanan diri sebagai bagian dari perjalanan sejarah sebuah generasi dan sebagai penerus dari generasi terdahulu,” ujar sulung dari tiga bersaudara ini.

”Pertanyaannya, apakah kita punya cerita tentang perjalanan kolektif kita sebagai masyarakat kalau referensinya acara-acara celebrities dan lomba-lomba yang menghasilkan banyak uang di TV. Kita tak pernah punya kesempatan berdialog dengan para tetua, dan tak punya waktu melakukan pencarian tentang siapa diri kita.”

Adakah beban sebagai anak Dr Soedjatmoko?

Sejak umur belasan tahun, saya memilih bersikap menjadi diri sendiri. Saya tak pernah bersitegang dengan bapak saya, tetapi juga tak mau orang membuka atau menutup pintu bagi saya karena bapak saya. Semua itu saya sampaikan ke dia. Saya mau memastikan bahwa apa yang saya dapatkan dalam hidup adalah karena saya, bukan karena orangtua saya. Karena itu, walaupun orang terus-menerus membuat asosiasi itu, saya tetap menuntut dinilai sebagai diri saya, tanpa embel-embel.

Perdamaian Adat yang Terkendala Hukum

KONFLIK SAD

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 27 Februari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/01474623/perdamaian.adat.yang.terkendala.hukum

Hampir sebulan sejak terjadi perang antarkelompok Suku Anak Dalam di perbatasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Selama itu para tumenggung—sebutan untuk pemimpin kelompok—berulang kali menggelar rapat adat demi menyelesaikan konflik.

Namun, proses berdamai belum juga selesai. Meskipun sebenarnya telah dibuat kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian.

Sebagaimana diketahui, tiga warga Suku Anak Dalam (SAD) tewas dalam perang antarkelompok. Dua korban adalah warga kelompok Tumenggung Jelitai, kelompok SAD yang berdiam di Kabupaten Sarolangun. Satu korban lagi adalah warga kelompok Tumenggung Majid di Batanghari.

Oleh karena itu, Tumenggung Jelitai dikenai sanksi membayar 1.500 lembar kain ke keluarga korban. Adapun Tumenggung Majid membayar 500 lembar kain.

Perdamaian hanya dapat tercapai jika kedua pihak yang bertikai saling bertemu, lengkap dengan pemimpin kelompok masing-masing. Tumenggung Jelitai dan Majid harus menyerahkan langsung denda kain kepada keluarga para korban dan menyampaikan permintaan maaf atas musibah yang mereka alami.

Pada saat itulah perang antara kedua kelompok benar-benar dianggap berakhir. Perdamaian dinyatakan telah tercapai.

Sayangnya, perdamaian itu sulit terealisasi. Bukan karena tidak ada kemauan warga SAD untuk menyelesaikan, tetapi terbentur penerapan hukum formal terhadap masyarakat adat.

Tumenggung Jelitai mendekam di tahanan Kepolisian Daerah Jambi dengan status tersangka. Sepuluh tumenggung di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) telah menemui Kepala Kepolisian Resor Sarolangun untuk membawa Jelitai menjalani sidang adat.

Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. ”Kami hanya bermaksud meminjam Tumenggung Jelitai barang sebentar supaya Tumenggung Jelitai hadir meminta maaf dan menyerahkan denda kepada keluarga korban supaya perdamaian di antara kami semua benar-benar tercapai,” ujar Tumenggung Pemobar, pemimpin SAD wilayah Makekal Tengah.

Lalu, para tumenggung berangkat ke Kota Jambi dengan maksud menemui Kepala Polda dan Gubernur Jambi. Sudah sepekan berada di Jambi, harapan mereka belum juga terealisasi.

Rabu (7/1) lalu, ketika para tumenggung bermaksud menemui Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin di kantornya, mereka justru diusir petugas Satpol PP. ”Kami tidak diperbolehkan masuk ke dalam gedung,” ujar Pemobar, yang bersama semua tumenggung hanya dapat berteduh di bawah sebuah pohon besar dekat kantor gubernur, sambil menanti kalau-kalau gubernur melintas.

Ditahannya Tumenggung Jelitai oleh kepolisian sangat mengiris hati para pemimpin kelompok dalam TNBD. Menurut Tumenggung Nggrip, pemimpin kelompok SAD di Makekal Ulu, mereka sebenarnya ingin menerapkan sendiri hukuman adat bagi Jelitai.

Namun, hukum formal ternyata telah lebih dahulu diberlakukan. ”Bagi kami, tidak ada istilah ayam sembelih dua. Artinya, tidak mungkin dua hukum sekaligus diterapkan bagi Orang Rimba. Kami ingin cukup hukum adat rimba bagi Jelitai,” tuturnya.

Jika hukum negara telah berlaku bagi Orang Rimba, itu sama saja dengan melenyapkan hukum adat. Padahal, sejak masa lalu mereka diakui negara sebagai masyarakat adat yang menghuni TNBD. Mereka memiliki aturan-aturan yang jelas dan tegas untuk membuat setiap warga patuh hukum adat.

Untuk kasus pembunuhan, ada sanksi sebagaimana tertuang lewat seloka adat rimba: Kalo luko, berpampas. Kalo mati, dibangun. Seloka ini berarti jika ada luka, luka itu harus segera dibersihkan, sedangkan jika ada yang mati, nyawa yang hilang itu harus digantikan. Diganti bukan berarti nyawa ganti nyawa. Orang yang terbukti mencabut nyawa orang lain dapat membayar denda kain kepada keluarga korban. Kecuali pelaku tak dapat membayar denda itu dalam jangka waktu satu atau dua minggu, maka berlakulah nyawa ganti nyawa.

”Kalau tidak bisa membayar, ya harus dibayar dengan nyawa,” ujar Tumenggung Maritua, pemimpin wilayah Batanghari.

Kepala Bidang Humas Polda Jambi AKBP Syamsuddin Lubis mengatakan, pihaknya masih mengusut kasus pembunuhan orang rimba itu. Saat ini polisi menahan 10 warga SAD pascaperang. Dari semua yang diperiksa, dua orang dinyatakan tersangka, yaitu Jlt dan Mg.

Menanggapi persoalan yang dihadapi masyarakat SAD, Zulkifli Nurdin mengatakan, pihaknya tidak berwenang mencampuri karena penegak hukum telah mengurusi. ”Hukum adat memang perlu kita hargai, tetapi kalau mereka terkena tindak kriminal, harus diselesaikan dulu dengan hukum formal. Setelah itu jika ingin diselesaikan lagi secara adat, barulah dapat dilakukan,” tuturnya.

Hingga kini, para tumenggung sengaja merahasiakan kepada warga mereka keberadaan Jelitai. Istri Jelitai bahkan belum mengetahui suaminya ditahan. ”Kalau istrinya tahu Tumenggung Jelitai ditahan, dia akan bunuh diri. Itu yang kami takutkan,” ujar Nggrip. (ITA)