Minggu, 01 Maret 2009

Indonesia Menghadapi Pertarungan Politik dan Kultural

Diunduh dari Harian KOMPAS, Selasa, 11 November 2008
http://kompas.co.id/read/xml/2008/11/11/17572488/indonesia.menghadapi.pertarungan.politik.dan.kultural..


JAKARTA, SELASA - Ancaman yang dihadapi (masyarakat) Indonesia saat ini bukanlah teologi yang buruk , tetapi pertarungan politik dan kultural. Kita sedang berebut ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan merumuskan keindonesiaan. Bangsa Indonesia adalah entitas yang sepenuhnya duniawi. Bangsa Indonesia adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada, tapi harus dibangun.

Pandangan yang demikian mengemuka dari Koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Jakarta, I Gusti Agung Ayu Ratih, ketika menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk Kita, Sejarah dan Kebhikenaan: Merumuskan Kembali K eindonesiaan, Senin (10/11) malam di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pidato Kebudayaan digelar Dewan Kesenian Jakarta memperingati hari jadi Taman Ismail Marzuki yang ke-40.

Dalam arena pertarungan ini, perlu dibangun gerakan kebudayaan yang memungkinkan tumbuhnya imajinasi tentang dunia baru yang didambakan, dengan cita-cita politik yang jelas. "Kita tidak bisa bertahan dengan posisi-posisi anti a atau b sebagai reaksi terhadap provokasi pihak sana. Kita tidak boleh membiarkan gerak kita ditentukan oleh manuver-manuver yang mereka rancang untuk mengacak-acak kesatuan dan keteraturan derap kita. Kita harus tegaskan posisi kita terhadap hal-hal fundamental yang menjadi landasan dan kerangka tegaknya republik ini," kata I Gusti Agung Ayu Ratih.

Dari perjalanan, penelitian dan praksis yang dilakukan Ayu Ratih selama hampir 20, dia menjelaskan, bahwa Indonesia adalah sebuah cita-cita, hasil imajinasi liar perorangan yang diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan politik kolektif. Keindonesiaan bukanlah sesuatu yang terberi, tetapi rangkuman niat, harapan, dan kesepakatan yang dari masa ke masa berubah oleh perdebatan, pertentangan ideologi, dan pengabdian aspirasi-aspirasi tertentu.

Harus pula kita ingat, di masa-masa paling kelam arena perumusan keindonesiaan dikuasai kekuatan fasistik yang melancarkan pemusnahan kelompok, golongan, dan suku bangsa tertentu. Dari pergaulan dengan para korban kekerasan masa lalu inilah saya percaya bahwa pengembangan gagasan Indonesia baru tak bisa dilepaskan dari upaya penyusunan sejarah baru, tandasnya.

Ayu Ratih berpendapat, bangsa Indonesia adalah entitas yang sepenuhnya duniawi. Pada saat proklamasi kemerdekaan rakyat kepulauan ini tidak dipersatukan oleh agama, suku bangsa, atau bahasa apu pun. Mereka dipersatukan oleh pengalaman sejarah penindasan politik dan eksploitasi ekonomi. Mereka berbagi komitmen untuk menciptakan masyarakat baru yang lebih demokratis, egalitarian, dan sejahtera.

Demokrasi tidak hanya dicapai di bidang politik, melalui pemilu, tetapi juga di bidang ekonomi. Baik Soekarno dan Hatta, misalnya, memperjuangkan demokrasi ekonomi dan sosialisme. Pancasila sepenuhnya merupakan pakta buatan manusia yang memberikan prinsip-prinsip acuan hidup bersama sebagai suatu bangsa.

Bangsa Indonesia, lanjut Ayu Ratih, adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada tapi harus dibangun, misalnya melalui kampanye pemberantasan buta huruf atau penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia. Inilah beberapa hal fundamental dalam nasionalisme Indonesia.



Kerja demokrasi

Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jaka rta Marco Kusumawijaya dalam hantarannya mengatakan, kerja demokrasi dewasa ini belum mencerminkan kecerdasan, kebijakan, dan kekayaan kolektif bangsa Indonesia seluruhnya, yang terdiri dari berbagai-bagai orang per orang, komunitas dan budaya.

Sesudah reformasi, sesudah demokrasi, kita memperjuangkan kembali kebebasan masyarakat dari kekuasaan yang berlebihan, yang tidak mendengar, dan tidak mampu atau tidak mau mengelola kebhinekaan yang justru merupakan dasar dari konsensus eksistensial negara-bangsa Indonesia, katanya.

Menurut Marco, kekuasaan cenderung mereduksi dan menyederhanakan segala hal karena mempermudah dirinya sendiri. Salah satu sebab penting dari hal itu adalah kehilangan kepekaan dan pengetahuan akan kebhinekaan itu sendiri.

Karena itu, lanjut Marco, pihaknya menganggap perlu kembali meneguhkan pengetahuan, kepekaan dan konsensus kita tentang kebhinekaan itu. Kita perlu menelusuri lagi ke akar-akarnya, ke budaya-budaya yang membentuk Indonesia. K ita ingin merenungi kebhinekaan pada tataran praktik-praktik kebudayaan kita, yang seharusnya menjadi sumber kearifan dalam mengelola kehidupan bersama pada tataran lain, baik ekonomi maupun politik. Kita juga ingin memahami nya dalam perspektif sejarah, karena kebhinekaan kita mengandung dan terkandung dalam sejarah kebangsaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar