Minggu, 01 Maret 2009

Keindonesiaan Kamala Chandrakirana

Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy

Diunduh dari Harian KOMPAS, Minggu, 18 Mei 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/18/01080252/keindonesiaan.kamala.chandrakirana


Pemahaman Kamala Chandrakirana (47) tentang keberagaman lahir dari pengalaman paling otentik sebagai individu, manusia Indonesia. Pengalaman itu tidak eksklusif, karena secara genetik bangsa ini memang lahir dari keberagaman dan dalam keberagaman.

Namun, jati diri manusia Indonesia tengah dipertaruhkan dalam permainan politik kekuasaan kelompok elite. Mereka memasarkan ide-ide tentang absolutisme, suatu gagasan yang menggunakan kerangka moralitas dan agama sebagai jalan keluar menjawab berbagai persoalan sosial.

Padahal gagasan absolutisme itu ilusi. Tetapi, ilusi itu menjadi laku ”dijual” karena masyarakat Indonesia berada di tengah ketidakpastian akibat keterpurukan ekonomi, kelelahan karena maraknya kekerasan dan disorientasi karena perubahan terjadi sangat tidak terduga.

”Absolutisme menawarkan jalan keluar instan, sederhana, tak menuntut orang berpikir, pokoknya hitam-putih, absolut,” ujar Kamala.

Kepastian jawaban atas segala persoalan lalu menjadi kepastian semu. Kamala menegaskan, ”Mengandaikan absolutisme adalah tidak mungkin. Bukan hanya karena tak ada jawaban tunggal atas suatu persoalan, tetapi juga tidak bisa karena karakter keberagaman dari archipelago kita secara geografis, sosial, ekonomi, budaya, maupun ekologis.”

Keberagaman tak hanya ada di dalam konsep, tetapi menyatu dalam darah manusia Indonesia dan sebagai pengalaman riel. ”Dalam keluarga saya ada beragam agama, beragam etnis,” ujar dia.

Keberagaman itu menjadi landasan kebersamaan yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar. ”Konstitusi itu merupakan kontrak sosial bangsa Indonesia,” tegas Kamala.

Barangkali, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)— yang ia pimpin sejak pertengahan tahun 2004—adalah satu dari sedikit lembaga resmi yang berani bersuara lantang tentang persoalan itu.

Kamala ditemui suatu siang di tengah kesibukannya mempersiapkan acara peluncuran Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan, Prof Saparinah Sadli, pada Kamis (15/5), tentang Kekerasan Seksual Mei 1998. Laporan itu diserahkan kepada Pemerintah melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono.

Menelikung demokrasi

Menurut Kamala, perempuan adalah korban terdepan berbagai kebijakan yang bernuansa absolutisme. Saat ini terdapat 27 produk kebijakan di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif karena melakukan pembatasan, pengendalian, dan kriminalisasi terhadap perempuan.

Ke-27 produk kebijakan ini merupakan bagian dari kecenderungan yang lebih besar lagi, yaitu 88 kebijakan lokal yang menggunakan agama dan moralitas sebagai landasan perumusan kebijakan dan menempatkan negara sebagai polisi moral dalam kehidupan warganya.

Pada tahun 2006, Mahkamah Agung menolak uji material yang didesakkan organisasi masyarakat sipil terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Tangerang karena menganggap proses pembuatan perda sudah memenuhi persyaratan prosedural. Kejadian itu menengarai demokrasi tanpa substansi. Prosedur demokrasi digunakan untuk menggolkan gagasan tentang absolutisme.

Di aras nasional ada Rancangan Undang-Undang Pornografi yang substansinya dapat berdampak pada kriminalisasi terhadap sensualitas dan tubuh perempuan.

Proyek ini, menurut Kamala, tidak terlepas dari proyek-proyek lain, termasuk soal Ahmadiyah. Juga ada lembaga-lembaga yang mempunyai kekuatan begitu besar sehingga mendorong Pemerintahan Nasional melanggar Konstitusi Indonesia, khususnya terkait dengan hak atas kebebasan beragama.

”Musuh semu”

Penyangkalan terhadap hak- hak warga negara dilakukan dengan menciptakan ”musuh bersama semu”, yakni perempuan dan kelompok minoritas lain atas dasar agama, orientasi seksual dan lain-lain, dengan melakukan politisasi identitas dan kebencian.

Di lain pihak, Pemerintah dan para elite politik tak mampu menyelesaikan persoalan riel yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan dan pemiskinan akibat perampasan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi oleh berbagai kebijakan yang lahir dari salah kelola negara, ketidakadilan, dan diskriminasi.

Bagaimana gerakan perempuan menyikapi semua ini?

Situasi-situasi tak terduga ini menuntut positioning baru gerakan perempuan dan strategi yang lebih canggih. Gerakan perempuan dituntut tak hanya mempersoalkan kewargaan seorang perempuan, tetapi harus memainkan peran kepemimpinan dalam merumuskan kembali makna kebangsaan kita dan menawarkan satu visi tentang keberwargaan bangsa Indonesia.

Saya optimis, perempuan bisa memainkan peran itu dengan cara beragam. Corak kepemimpinan abad ini berbeda dari abad ke-20 bentukan Perang Dingin dan ideologi-ideologi lama. Ini era multipolar, penuh keberagaman. Sekarang adalah era dari beragam pusat-pusat kecil yang keluar dengan eksperimentasinya sendiri, tetapi berjejaring karena sistem informasi abad ke-21 memungkinkan itu.

Itu perjuangan besar….

Iya. Agama yang digunakan sebagai alat kepentingan politik telah menjerat kita, karena kita dituntut harus membahas semua persoalan dalam kerangka agama. Jalan keluar lain diangap tidak sah.

Kita harus keluar dari kerangka agama dan masuk ke dalam kerangka keindonesiaan kita. Kita harus dapat menghidupkan kembali imaji kita tentang siapa ”Indonesia”. Selain kekelaman, kita juga punya sejarah yang penuh impian. Kita harus ingat lagi impian-impian kita dulu dan aspirasi kita ke depan untuk anak-cucu kita. Ruang untuk membahas itu semua harus ada, karena ke-Indonesia-an kita.

Kalau kita punya ruang untuk bicara tentang Indonesia, maka kita punya tempat untuk Ahmadiyah, di luar perdebatan tentang agama, karena pengikut Ahmadiyah adalah warga negara Indonesia. Kalau negara ikut-ikutan mengadopsi cara di luar kerangka keindonesiaan, artinya negara melanggar kontrak sosial yang telah kita buat sebagai bangsa. Dan kalau surat keputusan bersama antara Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama jadi dikeluarkan, itu catatan sejarah yang luar biasa karena di situ Pemerintah melanggar Konstitusi.

Sejak Orde Baru

Menurut Kamala, situasi ini sebenarnya merupakan suatu proses, seiring dengan melemahnya institusi-institusi sosial-kultural sejak zaman Orde Baru.

”Semua itu membuat generasi kita nyaris amnesia terhadap budaya kita sendiri,” tutur Kamala, ”Kita seperti tidak ingat bahwa nenek kita yang saleh beragama tidak berpakaian seperti perempuan dari kultur bangsa lain. Tetapi, mengapa sekarang kita seakan-akan melupakan dia sebagai bagian dari diri kita dan kemudian mengadopsi satu simbol kultural dari masyarakat lain di luar sana? Itu kan artinya kita kehilangan akar dari budaya kita.”

Kamala melanjutkan, ”Selama 30 tahun institusi-institusi sosial- kultural yang kita miliki diliyankan oleh Orde Baru, lalu dikendalikan dan dijadikan sebagai milik negara untuk kepentingan penguasa. Institusi itu telah menjadi asing bagi kita. Ekspresi kultural kita dijadikan etalase. Kita menjadi seperti manusia lepas, tak punya pijakan kultural. Semua ini membuat kita terlalu mudah menerima kultur tandingan yang diasosiasikan dengan kesalehan.”

Bukankah perempuan juga dijadikan alat pihak yang memasarkan gagasan absolutisme?

Karena itu kita harus memaknai apa yang disebut pendidikan politik. Pendidikan politik perempuan bukan hanya soal 30 persen di legislatif, juga bukan hanya mengajari tentang sistem pemerintahan, kepartaian, pemilu, tetapi harus menjadi sarana agar perempuan paham bahwa tubuh dan jati dirinya sering dijadikan alat perebutan kekuasaan oleh elite politik yang tak punya komitmen genuine terhadap kondisi ketidakadilan.

Kita, perempuan, jangan mudah diiming-imingi janji-janji yang pakai landasan agama dan moralitas untuk menjawab persoalan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Perempuan harus bisa membedakan, kandidat mana yang genuine, mana yang tidak. Pendidikan politik terpenting adalah membuat perempuan paham bahwa politisasi identitas perempuan itu bencana yang sangat besar dan bumerang bagi kepentingan perempuan.

Salah satu elemen pendidikan politik kita adalah mempelajari sejarah gerakan perempuan. Sejarah memperlihatkan, ketika masuk ke dalam institusi-institusi politik yang ada, kita hanya menjadi alat orang lain. Tak ada ruang di mana kita secara otonom bisa memperjuangkan nasib kita, dan kita tak bisa masuk ke suatu bagian yang merumuskan bagian besar institusi politik itu ke depan. Kita belajar dari sejarah kita. Itu pekerjaan rumah untuk 2009. Jadi bukan sekadar mencari calon yang masuk partai. Itu rentan terhadap ambisi kekuasaan.

***

Kehidupan Menjadi Diri Sendiri

Kamala Chandrakirana tak bisa dipisahkan dari kelahiran Komnas Perempuan. Ia adalah satu dari 22 perempuan yang bergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan salah satu anak generasi Dr Saparinah Sadli dan Kuraisin Sumhadi (alm), Soewarni Salyo, dan Mely G Tan, yang ikut meyakinkan Presiden BJ Habibie tentang terjadinya pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998.

”Ke-22 orang itu mewakili seluruh spektrum politik organisasi perempuan. Dari organisasi mainstream seperti Dharma Wanita dan Kowani yang menjadi ujung tombak Orde Baru, sampai organisasi nonpemerintah feminis, bagian dari gerakan demokrasi yang anti-Soeharto. Inilah yang menurut saya menjadi salah satu landasan kuat dari benih kredibilitas yang nantinya dikelola Komnas Perempuan,” kenang Kamala.

Komnas Perempuan yang berdiri pada tanggal 15 oktober 1998 melalui Keputusan Presiden No 181/1998—kemudian dikuatkan melalui Keputusan Presiden No 65/2005—adalah komisi independen yang lahir dari tuntutan sejarah kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan.

”Independen artinya tidak mewakili kepentingan pemerintah, juga bukan koalisi NGO. Lembaga ini berpegang pada landasan dan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia berperspektif gender,” ujar Kamala.

Status independen itu tidak diberikan, melainkan direbut dalam tarik-menarik politik Kabinet Reformasi pimpinan BJ Habibie.

Jalan hidup

Peristiwa itu adalah bagian perjalanan panjang Kamala sebagai aktivis, jalan hidup yang dipilihnya. Ia dilahirkan di dalam tradisi intelektual. Ayahnya, Dr Soedjatmoko, pemikir dan intelektual besar Indonesia, selalu mengundang teman-temannya datang ke rumah untuk berdiskusi dan Kamala kecil merekamnya.

Namun, pergulatan pemikiran Kamala yang intensif tak hanya lahir dari situ. Ia sendiri mengalami proses pencarian yang sifatnya otentik dan personal, melalui perjumpaan-perjumpaan; dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun dengan buku-buku.

”Kita merekam ingatan tentang perjalanan diri sebagai bagian dari perjalanan sejarah sebuah generasi dan sebagai penerus dari generasi terdahulu,” ujar sulung dari tiga bersaudara ini.

”Pertanyaannya, apakah kita punya cerita tentang perjalanan kolektif kita sebagai masyarakat kalau referensinya acara-acara celebrities dan lomba-lomba yang menghasilkan banyak uang di TV. Kita tak pernah punya kesempatan berdialog dengan para tetua, dan tak punya waktu melakukan pencarian tentang siapa diri kita.”

Adakah beban sebagai anak Dr Soedjatmoko?

Sejak umur belasan tahun, saya memilih bersikap menjadi diri sendiri. Saya tak pernah bersitegang dengan bapak saya, tetapi juga tak mau orang membuka atau menutup pintu bagi saya karena bapak saya. Semua itu saya sampaikan ke dia. Saya mau memastikan bahwa apa yang saya dapatkan dalam hidup adalah karena saya, bukan karena orangtua saya. Karena itu, walaupun orang terus-menerus membuat asosiasi itu, saya tetap menuntut dinilai sebagai diri saya, tanpa embel-embel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar