Minggu, 01 Maret 2009

Perdamaian Adat yang Terkendala Hukum

KONFLIK SAD

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 27 Februari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/01474623/perdamaian.adat.yang.terkendala.hukum

Hampir sebulan sejak terjadi perang antarkelompok Suku Anak Dalam di perbatasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Selama itu para tumenggung—sebutan untuk pemimpin kelompok—berulang kali menggelar rapat adat demi menyelesaikan konflik.

Namun, proses berdamai belum juga selesai. Meskipun sebenarnya telah dibuat kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian.

Sebagaimana diketahui, tiga warga Suku Anak Dalam (SAD) tewas dalam perang antarkelompok. Dua korban adalah warga kelompok Tumenggung Jelitai, kelompok SAD yang berdiam di Kabupaten Sarolangun. Satu korban lagi adalah warga kelompok Tumenggung Majid di Batanghari.

Oleh karena itu, Tumenggung Jelitai dikenai sanksi membayar 1.500 lembar kain ke keluarga korban. Adapun Tumenggung Majid membayar 500 lembar kain.

Perdamaian hanya dapat tercapai jika kedua pihak yang bertikai saling bertemu, lengkap dengan pemimpin kelompok masing-masing. Tumenggung Jelitai dan Majid harus menyerahkan langsung denda kain kepada keluarga para korban dan menyampaikan permintaan maaf atas musibah yang mereka alami.

Pada saat itulah perang antara kedua kelompok benar-benar dianggap berakhir. Perdamaian dinyatakan telah tercapai.

Sayangnya, perdamaian itu sulit terealisasi. Bukan karena tidak ada kemauan warga SAD untuk menyelesaikan, tetapi terbentur penerapan hukum formal terhadap masyarakat adat.

Tumenggung Jelitai mendekam di tahanan Kepolisian Daerah Jambi dengan status tersangka. Sepuluh tumenggung di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) telah menemui Kepala Kepolisian Resor Sarolangun untuk membawa Jelitai menjalani sidang adat.

Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. ”Kami hanya bermaksud meminjam Tumenggung Jelitai barang sebentar supaya Tumenggung Jelitai hadir meminta maaf dan menyerahkan denda kepada keluarga korban supaya perdamaian di antara kami semua benar-benar tercapai,” ujar Tumenggung Pemobar, pemimpin SAD wilayah Makekal Tengah.

Lalu, para tumenggung berangkat ke Kota Jambi dengan maksud menemui Kepala Polda dan Gubernur Jambi. Sudah sepekan berada di Jambi, harapan mereka belum juga terealisasi.

Rabu (7/1) lalu, ketika para tumenggung bermaksud menemui Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin di kantornya, mereka justru diusir petugas Satpol PP. ”Kami tidak diperbolehkan masuk ke dalam gedung,” ujar Pemobar, yang bersama semua tumenggung hanya dapat berteduh di bawah sebuah pohon besar dekat kantor gubernur, sambil menanti kalau-kalau gubernur melintas.

Ditahannya Tumenggung Jelitai oleh kepolisian sangat mengiris hati para pemimpin kelompok dalam TNBD. Menurut Tumenggung Nggrip, pemimpin kelompok SAD di Makekal Ulu, mereka sebenarnya ingin menerapkan sendiri hukuman adat bagi Jelitai.

Namun, hukum formal ternyata telah lebih dahulu diberlakukan. ”Bagi kami, tidak ada istilah ayam sembelih dua. Artinya, tidak mungkin dua hukum sekaligus diterapkan bagi Orang Rimba. Kami ingin cukup hukum adat rimba bagi Jelitai,” tuturnya.

Jika hukum negara telah berlaku bagi Orang Rimba, itu sama saja dengan melenyapkan hukum adat. Padahal, sejak masa lalu mereka diakui negara sebagai masyarakat adat yang menghuni TNBD. Mereka memiliki aturan-aturan yang jelas dan tegas untuk membuat setiap warga patuh hukum adat.

Untuk kasus pembunuhan, ada sanksi sebagaimana tertuang lewat seloka adat rimba: Kalo luko, berpampas. Kalo mati, dibangun. Seloka ini berarti jika ada luka, luka itu harus segera dibersihkan, sedangkan jika ada yang mati, nyawa yang hilang itu harus digantikan. Diganti bukan berarti nyawa ganti nyawa. Orang yang terbukti mencabut nyawa orang lain dapat membayar denda kain kepada keluarga korban. Kecuali pelaku tak dapat membayar denda itu dalam jangka waktu satu atau dua minggu, maka berlakulah nyawa ganti nyawa.

”Kalau tidak bisa membayar, ya harus dibayar dengan nyawa,” ujar Tumenggung Maritua, pemimpin wilayah Batanghari.

Kepala Bidang Humas Polda Jambi AKBP Syamsuddin Lubis mengatakan, pihaknya masih mengusut kasus pembunuhan orang rimba itu. Saat ini polisi menahan 10 warga SAD pascaperang. Dari semua yang diperiksa, dua orang dinyatakan tersangka, yaitu Jlt dan Mg.

Menanggapi persoalan yang dihadapi masyarakat SAD, Zulkifli Nurdin mengatakan, pihaknya tidak berwenang mencampuri karena penegak hukum telah mengurusi. ”Hukum adat memang perlu kita hargai, tetapi kalau mereka terkena tindak kriminal, harus diselesaikan dulu dengan hukum formal. Setelah itu jika ingin diselesaikan lagi secara adat, barulah dapat dilakukan,” tuturnya.

Hingga kini, para tumenggung sengaja merahasiakan kepada warga mereka keberadaan Jelitai. Istri Jelitai bahkan belum mengetahui suaminya ditahan. ”Kalau istrinya tahu Tumenggung Jelitai ditahan, dia akan bunuh diri. Itu yang kami takutkan,” ujar Nggrip. (ITA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar